Thursday, June 28, 2018

KH ABDUL WAHAB CHASBULLOH ( Perintis Jurnalis Pesantren )

Bagi masyarakat pondok pesantren , terutama warga Nahdlatul Ulama' , nama KH Abdul Wahan Chasbulloh tentu tak asing lagi. Kiai kelahiran Tambakberas Jombang Maret 1888 M ini merupakan salah satu tokoh sentral pendiri NU. Kepribadian yang multikultural! Pengetahuan yang arif , serta kaya pengalaman hidup menjadikannya sebagai sosok yang sangat disegani dan dihormati. Karena itu, agak sulit menemukan padanan kata yang tepat untuk mendiskripsikan, meminjam istilah KH Abdul Wahid Hasyim , " Kiai merdeka " ini . Justru hal itu mengindikasikan betapa beragamnya pesona Kiai Wahab yang layak kita teladani . Dan, tepat pada penanggalan 29 Desember, 42 tahun silam , kiai yang konon masih bersambung nasab pada Lembu Peteng, salah seorang raja Majapahit, ini wafat. Ssebagai bakti hikmat serta niat tabarukan , sudah sepatutnya kita menimba sawab berkah Kiai Wahab untuk direfleksikan.

Kiai Wahab boleh dibilang " anak emas " pesantren . Ia lahir di pesantren , dibesarkan (di) pesantren , sekaligus mencerap ilmu dari pesantren ke pesantren. Misalnya , pesantren Langitan Tuban , Pesantren Mojosari Nganjuk , Pesantren Tawangsari Surabaya , Pesantren Bangkalan Madura , Pesantren Tebuireng Jombang , hingga Makkah al-Mukarromah. Atas dasar inilah bisa dimaklumi jika beliau terobsesi untuk memberdayakan segenap potensi pesantren .

Selain dikenal pemikir ulung dan organisatoris andal , Kiai Wahab juga memberi perhatian serius terhadap forum pergesekan wacana dan aktivitas jurnalistik. Sebuah forum diskusi " Taswirul Afkar " yang dirintis bersama Kiai Mas Mansur , sahabat karib semasa menimba ilmu di Makkah , pada tahun 1914 adalah tamsil yang tepat .

" Taswirul Afkar " mengedepankan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat . Karena itu , dalam waktu singkat forum ini mampu memagut simpati kaum muda NU untuk terlibat aktif di dalamnya . " Taswirul Afkar " menjadi ajang jual-beli gagasan guna merumuskan solusi kontekstual doktrin agama atas sejumlah permasalahan krusial tempo itu .

Bagi Kiai Wahab , forum diskusi yang mengagungkan kekuatan lisan dianggap belum cukup ampuh untuk memecahkan persoalan . Oleh sebab itulah ia gelisah . Syahdan , hingga pada suatu malam yang hening selepas shalat tahajut , ia menerima " wangsi " sebuah keris . " Kalau kita mau keras , harus punya keris ! " batin Kiai Wahab .

Keris tersebut diterjemahkan Mbah Wahab sebagai pena. Maka , terbesitlah ide brilian bahwa untuk mengabdikan gagasan nanti mesti ditempuh melalui tulisan . Setelah bermusyawarah bersama sejumlah kyai NU lainnya , Kiai Wahab pun membeli percetakan berikut sebuah gedung sebagai sentra aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya .

Sejak saat itu terbitlah majalah paruh bulanan Suara Nahdlatoel Oelama dengan Kiai Wahab sebagai pemimpin redaksinya . Majalah ini berumur hampir sewindu sebelum disempurnakan Kiai Mahfudz Shidiq menjadi Berita Nahdlatoel Oelama . Inisiatif Kiai Wahab ini telah melahirkan penulis ternama semisal Saifuddin Zuhri , Mahbub Junaidi , dan Asa Bafaqih . Dan , yang jelas budaya menulis lantas menjadi tradisi yang otonom di kalangan kyai NU saat itu .

Rekronstruksi Paradigmatik
Setelah jagad NU " ditinggal " Kiai Wahab lebih dari tiga dasawarsa , terjadi pergeseran paradigmatik yang amat memprihatinkan . Para kiai sebagai pilar NU sebagian besar terjebak dalam permainan politik praktis , sementara sebagian yang lain sibuk bernostalgia dengan asyik menekuni khazanah warisan Tomur Tengah (baca : kitab kuning) di pesantren masing-masing tanpa melakukan pembacaan kritis .

Forum " Bahtsul Masail " yang rutin digelar tak lebih sekedar media justifikasi kitab kuning yang diasumsikan berlaku universal (baca : shalih likulli zaman wa makan) . Sejumlah persoalan kontemporer disolusikan pada warisan literer berabad-abad silam yang memiliki miliu dan faktisitas yang berbeda .

Maka dari itu , kegelisahan Kiai Wahab untuk melakukan kontekstualisasi doktrin agama pada zamannya harus dipahami sebagai usaha rekontruksi teks-teks keagamaan . Kitab kuning , dalam hal ini , harus diletakkan sebagai produk budaya yang meruang dan mewaktu dan selayaknya dikritisi dari perspektif kekinian . Dari sinilah terjadi dialektika sinergis yang menurut Hegel , bersumber dari teori tesa-antitesa-sintesa untuk melahirkan kebaruan pemikiran sesuai dengan tuntutan zaman .

Namun ekspektasi itu terasa jauh dari kenyataan ketika menilik tradisi menulis kiai NU kian surut . Memang masih ada segelintir kiai, semisal Gus Sholahuddin Wahid (Jombang) , Gus Dur (Ciganjur) , Gus Nasrudin Anshori (Imogiri) , Gus Ali Mashuri (Sidoarjo) , Kiai Zawawi Imron (Madura) , Gus Musthofa Bisri (Rembang) , dan Gus Wahib Wahab (Mojokerto) , yang konsisten memancangkan tradisi menulis. Tapi jumlah itu hanya seujung kuku jika dibandingkan ribuan kiai NU yang membiak di seluruh Indonesia. Seandainya Kiai Wahab mengetahui kondisi ini niscaya akan menangis . Tradisi menulis yang susah payah ditegakkan pelan-pelan diabaikan .

Barangkali para kiai NU saat ini terbelenggu paradigma primitif bahwa menulis sebagai bukti eksistensi kekinian mesti menggunakan bahasa Arab seperti kitab kuning . Paradigma ini perlu diluruskan. Dulu anggapan akan kedekatan bahasa Arab dengan Islam masih kental dan hidup di tengah masyarakat . Hatta labuda , karya-karya tulis ulama pun disusun menggunakan bahasa ini (Faizi, 2007) .

Oleh karena itu , jika yang dimaksud kitab kuning adalah buku berbahasa Arab , tentu kita juga harus mafhum , betapa sulit untuk menuliskannya sekaraan di saat kita telah mengenal dan menjadi pemakai aktif bahasa Indonesia sebagai lingua franca . Mungkin ini sebuah kelakar , tetapi faktor ini pun jelas punya peranan penting , mengapa kitab-kitab tersebut sulit dijumpai sekarang. Karena ternyata telah terbukti , banyak kiai yang memilih untuk menulis buku dengan bahasa Indonesia meskipun mereka jga cakap dan jaduk dalam menggunakan bahasa Arab , seperti Kiai Mujab Mahalli (Bantul) , Gus Zainal Arifin Thoha (Yogya) , Kiai Bahauddin Mudhori (Sumenep) , dan Kiai Muhyiddin (Jember) . Dan , bukankah buku-buku tersebut juga akan disebut kita saat di-Arab-kan ?

Mencermati fenomena ini sudah sepatutnya para kiai melakukan instropeksi . Sebagai khidmat ta'dhim terhadap Kiai Wahab , tradisi menulis harus digalakkan. Tak perlu mukuk-muluk dengan (harus) menggunakan bahasa Arab bila khawatir dianggap tidak representatif (ghoiru mu'tabar) . Dengan bahasa lokal (nasional atau daerah) , karya tersebut akan lebih efektif dan dibaca masyarakat seantero negri ini . Jika memang karya itu bermutu , orang akan senang membaca dan jika perlu menerjemahkannya ke pelbagai bahasa .

Oleh : Saiful Amin Ghofur , Guru Luar Biasa Ponpes Roudlotul Nasyi'in Beratkulon Mojokerto. 

(Sumber : buku Gerakan Santri Menulis , Sarasehan Jurnalistik Ramadhan 2010 , Suara Merdeka)

Thursday, June 21, 2018

Hadits Futuristik

Hadits-Hadits Futuristik dan Penyikapan Terhadapnya

Pada suatu kesempatan di dalam kuliah, salah satu dosen kami, K.H. Arif Chasanul Muna, M.A menyampaikan beberapa klasifikasi hadits berdasarkan topik pembahasannya. Minimal, ada 4 klasifikasinya, yaitu:

1. Hadits-Hadits Akidah. Hadits-hadits ini bertemakan tentang akidah-akidah yang harus diyakini ummat Islam, seperti tentang keberadaan Allah, kekuasaan Allah, sifat-sifat Allah, dan lain sebagainya

2. Hadits-Hadits Ibadah. Hadits-hadits ini berbicara tentang ibadah dan tatacaranya, seperti sholat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya

3. Hadits-Hadits Akhlak. Rasulullah bertugas untuk mengajarkan akhlak yang mulia. Tentulah hadits-hadits seperti larangan marah, berbuat baik dengan tetangga, dan sebagainya pernah terucap dari lisan mulia beliau, atau tercontohkan dari perbuatan, maupun ketetapan-ketetapan beliau

4. Hadits-Hadits Futuristik. Beberapa kali, Rasulullah meramalkan tentang masa depan. Beberapa hadits fututistik adalah seperti hadits 'Ummatku akan terpecah', hadits tentang khilafah, tentang hari kiamat, dan lain sebagainya.

Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa pemahaman yang benar adalah memegang teguh hadits-hadits akidah dan ibadah, kemudian hadits-hadits akhlak yang pula harus berusaha kita amalkan. Adapun hadits-hadits futuristik merupakan hadits-hadits yang mempunyai banyak penafsiran, multitafsir, sehingga kita harus berhati-hati dalam menyikapinya.

Fenomena zaman ini sering terjadi pemutar balikan tempat. Sering, orang menganggap *hadits-hadits futuristik* dianggap sebagai *hadits akidah* yang harus mereka pegang teguh. Sebagai contoh, hadits mengenai khilafah dan terpecahnya ummat, terdapat beberapa penafsiran yang dibahas oleh para ulama. Mereka meyakini bahwa penafsiran mereka tentang hadits tersebut sudahlah *final* dan harus diyakini dengan sepenuh hati.

Dalam problem hadits perpecahan ummat menjadi 73 golongan, misalnya, sebagian kaum muslimin menganggap bahwa aliran mereka adalah *firqah an-najiyyah* atau *golongan yang selamat*. Padahal, terdapat sedikitnya 4 sikap dan penafsiran terhadap hadits tersebut.

Contoh lain, hadits tentang *ghuraba*, atau orang yang terasing dalam mengamalkan sunnah Rasulullah. Sebagian mereka menganggap bahwa masa ini adalah masa yang dimaksud Rasulullah dan menganggap bahwa diri mereka adalah orang asing yang memperjuangkan sunnah di tengah dunia yang penuh bid'ah. Mereka meyakini itu seperti akidah, ataupun keyakinan yang harus mereka yakini kuat-kuat.

Padahal, hadits-hadits futuristik haruslah diletakkan pada tempatnya. Perbedaan penafsiran pada hadits futuristik hendaknya janganlah dipegang sepenuhnya, sama seperti kita memegang teguh hadits tentang akidah. Contohnya, kekhilafahan Abbasiyyah pernah menganggap bahwa merekalah pembawa bendera hitam dari timur dan menyebarkan propaganda menggunakan hadits Imam Mahdi untuk kepentingan mereka.

Lalu, apakah kita akan sama-sama termakan issue dengan istilah Dajjal, kaum Turk yang dianggap orang Cina, dan Ghuraba yang dilegitimasi oleh sebagian kelompok, tanpa mencoba melihat penafsiran dari berbagai sudut pandang, dan menjadikannya hadits-hadits akidah?

Oleh :
     Muhammad Ibnu Salamah
(SANTRI HADITS PEKALONGAN)