Bagi masyarakat
pondok pesantren , terutama warga Nahdlatul Ulama' , nama KH Abdul Wahan
Chasbulloh tentu tak asing lagi. Kiai kelahiran Tambakberas Jombang Maret 1888
M ini merupakan salah satu tokoh sentral pendiri NU. Kepribadian yang
multikultural! Pengetahuan yang arif , serta kaya pengalaman hidup
menjadikannya sebagai sosok yang sangat disegani dan dihormati. Karena itu,
agak sulit menemukan padanan kata yang tepat untuk mendiskripsikan, meminjam
istilah KH Abdul Wahid Hasyim , " Kiai merdeka " ini . Justru hal itu
mengindikasikan betapa beragamnya pesona Kiai Wahab yang layak kita teladani .
Dan, tepat pada penanggalan 29 Desember, 42 tahun silam , kiai yang konon masih
bersambung nasab pada Lembu Peteng, salah seorang raja Majapahit, ini wafat. Ssebagai
bakti hikmat serta niat tabarukan , sudah sepatutnya kita menimba sawab berkah
Kiai Wahab untuk direfleksikan.

Selain dikenal
pemikir ulung dan organisatoris andal , Kiai Wahab juga memberi perhatian
serius terhadap forum pergesekan wacana dan aktivitas jurnalistik. Sebuah forum
diskusi " Taswirul Afkar " yang dirintis bersama Kiai Mas Mansur ,
sahabat karib semasa menimba ilmu di Makkah , pada tahun 1914 adalah tamsil
yang tepat .
" Taswirul
Afkar " mengedepankan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat . Karena
itu , dalam waktu singkat forum ini mampu memagut simpati kaum muda NU untuk
terlibat aktif di dalamnya . " Taswirul Afkar " menjadi ajang
jual-beli gagasan guna merumuskan solusi kontekstual doktrin agama atas
sejumlah permasalahan krusial tempo itu .
Bagi Kiai Wahab ,
forum diskusi yang mengagungkan kekuatan lisan dianggap belum cukup ampuh untuk
memecahkan persoalan . Oleh sebab itulah ia gelisah . Syahdan , hingga pada
suatu malam yang hening selepas shalat tahajut , ia menerima " wangsi
" sebuah keris . " Kalau kita mau keras , harus punya keris ! "
batin Kiai Wahab .
Keris tersebut
diterjemahkan Mbah Wahab sebagai pena. Maka , terbesitlah ide brilian bahwa
untuk mengabdikan gagasan nanti mesti ditempuh melalui tulisan . Setelah
bermusyawarah bersama sejumlah kyai NU lainnya , Kiai Wahab pun membeli
percetakan berikut sebuah gedung sebagai sentra aktivitas NU di Jalan Sasak 23
Surabaya .
Sejak saat itu
terbitlah majalah paruh bulanan Suara Nahdlatoel Oelama dengan Kiai Wahab
sebagai pemimpin redaksinya . Majalah ini berumur hampir sewindu sebelum disempurnakan
Kiai Mahfudz Shidiq menjadi Berita Nahdlatoel Oelama . Inisiatif Kiai Wahab ini
telah melahirkan penulis ternama semisal Saifuddin Zuhri , Mahbub Junaidi , dan
Asa Bafaqih . Dan , yang jelas budaya menulis lantas menjadi tradisi yang
otonom di kalangan kyai NU saat itu .
Rekronstruksi
Paradigmatik
Setelah jagad NU
" ditinggal " Kiai Wahab lebih dari tiga dasawarsa , terjadi
pergeseran paradigmatik yang amat memprihatinkan . Para kiai sebagai pilar NU
sebagian besar terjebak dalam permainan politik praktis , sementara sebagian
yang lain sibuk bernostalgia dengan asyik menekuni khazanah warisan Tomur
Tengah (baca : kitab kuning) di pesantren masing-masing tanpa melakukan
pembacaan kritis .
Forum "
Bahtsul Masail " yang rutin digelar tak lebih sekedar media justifikasi
kitab kuning yang diasumsikan berlaku universal (baca : shalih likulli zaman wa
makan) . Sejumlah persoalan kontemporer disolusikan pada warisan literer
berabad-abad silam yang memiliki miliu dan faktisitas yang berbeda .
Maka dari itu ,
kegelisahan Kiai Wahab untuk melakukan kontekstualisasi doktrin agama pada
zamannya harus dipahami sebagai usaha rekontruksi teks-teks keagamaan . Kitab
kuning , dalam hal ini , harus diletakkan sebagai produk budaya yang meruang
dan mewaktu dan selayaknya dikritisi dari perspektif kekinian . Dari sinilah
terjadi dialektika sinergis yang menurut Hegel , bersumber dari teori
tesa-antitesa-sintesa untuk melahirkan kebaruan pemikiran sesuai dengan
tuntutan zaman .
Namun ekspektasi
itu terasa jauh dari kenyataan ketika menilik tradisi menulis kiai NU kian
surut . Memang masih ada segelintir kiai, semisal Gus Sholahuddin Wahid
(Jombang) , Gus Dur (Ciganjur) , Gus Nasrudin Anshori (Imogiri) , Gus Ali
Mashuri (Sidoarjo) , Kiai Zawawi Imron (Madura) , Gus Musthofa Bisri (Rembang)
, dan Gus Wahib Wahab (Mojokerto) , yang konsisten memancangkan tradisi
menulis. Tapi jumlah itu hanya seujung kuku jika dibandingkan ribuan kiai NU
yang membiak di seluruh Indonesia. Seandainya Kiai Wahab mengetahui kondisi ini
niscaya akan menangis . Tradisi menulis yang susah payah ditegakkan pelan-pelan
diabaikan .
Barangkali para
kiai NU saat ini terbelenggu paradigma primitif bahwa menulis sebagai bukti
eksistensi kekinian mesti menggunakan bahasa Arab seperti kitab kuning . Paradigma
ini perlu diluruskan. Dulu anggapan akan kedekatan bahasa Arab dengan Islam
masih kental dan hidup di tengah masyarakat . Hatta labuda , karya-karya tulis
ulama pun disusun menggunakan bahasa ini (Faizi, 2007) .
Oleh karena itu ,
jika yang dimaksud kitab kuning adalah buku berbahasa Arab , tentu kita juga
harus mafhum , betapa sulit untuk menuliskannya sekaraan di saat kita telah
mengenal dan menjadi pemakai aktif bahasa Indonesia sebagai lingua franca .
Mungkin ini sebuah kelakar , tetapi faktor ini pun jelas punya peranan penting
, mengapa kitab-kitab tersebut sulit dijumpai sekarang. Karena ternyata telah
terbukti , banyak kiai yang memilih untuk menulis buku dengan bahasa Indonesia
meskipun mereka jga cakap dan jaduk dalam menggunakan bahasa Arab , seperti
Kiai Mujab Mahalli (Bantul) , Gus Zainal Arifin Thoha (Yogya) , Kiai Bahauddin
Mudhori (Sumenep) , dan Kiai Muhyiddin (Jember) . Dan , bukankah buku-buku
tersebut juga akan disebut kita saat di-Arab-kan ?
Mencermati
fenomena ini sudah sepatutnya para kiai melakukan instropeksi . Sebagai khidmat
ta'dhim terhadap Kiai Wahab , tradisi menulis harus digalakkan. Tak perlu
mukuk-muluk dengan (harus) menggunakan bahasa Arab bila khawatir dianggap tidak
representatif (ghoiru mu'tabar) . Dengan bahasa lokal (nasional atau daerah) ,
karya tersebut akan lebih efektif dan dibaca masyarakat seantero negri ini .
Jika memang karya itu bermutu , orang akan senang membaca dan jika perlu
menerjemahkannya ke pelbagai bahasa .
Oleh : Saiful Amin
Ghofur , Guru Luar Biasa Ponpes Roudlotul Nasyi'in Beratkulon Mojokerto.
(Sumber : buku
Gerakan Santri Menulis , Sarasehan Jurnalistik Ramadhan 2010 , Suara Merdeka)